SASTRA DAN MARGINAL
1. Sastra Marginal
Marginal tidak terlepas dari orang
sebagai objek permasalahan, baik secara ekonomis maupun sosilogis. Dalam Collins Cobuild English Dictionary, pengertian
“marginal” adalah sesuatu yang kecil jumlahnya dan dianggap tidak penting serta
tidak dilibatkan dalam perkembangan dan peristiwa utama. Ide dasar yang menjadi
fokus utama marginalitas adalah manusia, baik secara individu maupun kolektif. Menurut
pemamparan Oscar Lewis (1952) membahas marginal menyatakan bahwa politik marginal
sangat berpengaruh pada pemerintahan. Dalam beberapa sumber mengatakan manusia dianggap
masuk dalam lingkup marginal apabila sosial mengandung definisi pertentangan di
antara kelompok-kelompok.
Marginalitas berkaitan dengan keanggotaan
individu dalam berbagai kelompok akibat kurang terintergrasinya dalam masyarakat.
Konsep Lewis tampak pada konflik budaya dalam komunitas tertentu, persoalan generasi
keturunan, dan friksi budaya minor dan dominan. Adapun representasi marginal perwujudan
dari sikap pengarang dalam teks, yang mengakat isu-isu status berakitan dengan ras,
kelas, dan gender. Kajian Marginalitas juga berkaitan dengan budaya.
Marginalitas pengarang ialah proses
kreatif dalam menembus pasar sastra kanon. Perjuangan yang berangkat dari masalah
kebutuhan dan status peran; seseorang dalam kerangka sastra marginal. Bagi pengarang
pemula banyak kemungkinan mempertanyakan atas karyanya. Dalam prespektif penulis
pemula berada di pinggir kesusatraan. Kriteria yang digunakan dalam pembetukan struktur
tekstual, ungkapan, koherensi dalam menata kompleksitas sudut pandang menjadi kesan
artistik.
Sastra marginal dalam dampak yang
tercipta, dalam sudut pandang ekonomi, menganggap bahwa sastra marginal muncul karena
pengarang dituntutan oleh kehendak kebutuhan untuk mengelola. Kompleksitas material
dalam individu pengarang dan karya, merupakan konsekuensi dalam proses kreatif.
Objek narasi dalam sastra marginal tipe di atas dianggap kemampanan menciptakan
komunitas imajinatif. Pengarang dengan kencenderungan memuat realitis fiksi ketersisihan
sebagai muatan narasi, fenomena materialis pada pola-pola motivasi kehidupan batin
tokoh. Representasi struktur gagasan didominasi latar tempat, waktu, suasana, dan
ide pokok cerita yang menitik beratkan pada wujud fisik dan frase-frase glamor dari
pada petanda.
Marginal merupakan cara membiasan
diri. Dalam sosiologi memandang sastra marginal sebagai eksistensi status harapan
setiap individu dalam teks fiksi. Status harapan pengarang, pembaca, dan masyarkat
tidak terlepas dari peran, motivasi, wawasan dan perilaku tokoh. Kesenjangan dalam
fiksi memicu adanya penciptaan karya tersebut. Ketidakmampuan tokoh dalam menghadapi
masyarakat, kebingungan untuk menentukan identitas karena lepas dari budaya generasi
terdahulu,perbedaan status sosial, dan permaslahan gender banyak menjadi polol ulasan
fiksi modern/kontemporer.
Dapat disimpulkan bahwa sastra marginal
adalah sastra pinggiran yang mengedepankan ras, gender, dan kelas sosial. Banyak
masalah sosial yang dibahas dalam pengaplikasian sastra ini. Kesenjangan dalam konflik
cerita juga sering dikaitkan.
2. Perkembangan Sastra Marginal
Masa awal pertumbuhan
Sastra marginal adalah bersamaan dengan muncul dan berakhirnya
keberadaan sastra peranakan Cina dalam bahasa Melayu-Rendah (1871-1950). Selain
itu juga diisi oleh muncul dan berakhirnya keberadaan sastra Medan yang dicap sebagai
“ Roman” . Kedua ragam karya sastra yang muncul pada awal pertumbuhan itu disebut
“ sastra marjinal” karena posisi dan kedudukannya yang dipinggirkan oleh para elite
sastra pada waktu itu. Selain itu, kedua ragam sastra Indonesia dianggap tidak sejalan
dengan kebijakan politik Pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda
membentuk komisi bacaan rakyat yang dikenal dengan Balai Pustaka. Tujuan didirikannya
Balai Pustaka adalah untuk menyelenggarakan perpustakaan yang menyediakan buku-buku
bacaan yang baik dan sehat, menambah pengetahuan, dan menjauhkan masyarakat dari
pengaruh-pengaruh buku-buku berabau politik pemerintahan. Atas dasar itulah, karya
sastra yang tidak sesuai dengan kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda dipinggirkan.
Masa Perkembangan
Masa perkembangan sastra marginal
adalah bersamaan dengan munculnya isu krisis sastra pada awal tahun 1950-an hingga
akhir tahun 1960-an. Sastra marginal yang berkembang pada masa itu adalah ragam
karya sastra majalah dan cerita silat. Meskipun sampai sekarang bentuk karya sastra
majalah dan sastra silat masih terus dan berkembang perhatian para penelitian dan
kritikus sastra tetap tertuju pada keberadaan karya sastra standar. Peminggiran
ragam karya sastra marginal ini oleh para peneliti menyebabkan kedudukan, peran,
dan fungsi sastra majalah dan sastra silat menjadi terabaikan. Pengarang S. H Mintarja sangat terkenal karya-karyanya
seperti Pelangi di Langit Singosari, Nagasara,
dan Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh dan Jalan Simpang.
Masa Kemasan
Masa keeamasan sastra marginal dimulai
bersamaan dengan munculnya berbagai ragam karya sastra pada tahun 1970-an. Pada
tahun-tahun tersebut muncul banyak ragam karya sastra seperti novel populer, puisi
mbeling, puisi kontemporermsastra warna lokal dan sastra tegal. Disebut masa keeamasan
sastra marjinal karena kurun waktu tersebut paling banyak terbit dan berkembang
aneka ragam karya sasta yang memberontak terhadap kemapanan sastra seirus. Munculnya
ekspremesntasi sastra oleh para generasi muda dan penulis pemula, yang belum mapan
baik yang tinggal di daerah maupun di Jakarta, menyebabkan tumbuj kembang suburnya
sastra marginal tersebut. Sumardjo memberikan contoh novel-novel pop adalah Badai Pasti Berlalu (Marge T), Karmila (Marga
T). Bukan Impian Semusim (Marga T), Bukan Karena Aku tidak Mencintai (La Rose) dan
Wajah-wajah Cinta ( La Rose).
3. Hubungan Sastra dengan Marginal
Dewasa ini sastra erat kaitannya
budaya atau dunia sosial. Menurut Sumardi (1985 :370-382) memberi pengertian “ sastra marginal” adalah sastra
perbatasan. Hal ini berhubungan dengan pengertian sastra marginal yang pertama,
yaitu sastra yang berhubungan dengan batas suatu wilayah. Batas wilayah sastra Indonesia
dengan wilayah sastra daerah. Menentukan posisi marginal kesusastraan, Sumardi mendasarkan
pada (1) sarana pengucapannya, yaitu dari segi bahasa yang digunakan dalam karya
tersebut, (2) tokoh rekaannya, yaitu tokoh rekaan manusia Indonesia atau manusia
daerah, dan (3) permasalahan yang ditengahnya sebagai dunianya, yaitu permasalahan
keindonesiaan dan kedaerahan. Beberapa contoh sastra marginal Pengakuan Pariyem
(Linus Suryadi. A.G, 1980) Rara Mendut (YB Mangunwijaya, 1983) dan Upacara (Korrie
Layuan Rampan, 1979). Sastra mengambil orientasi daerah atau sastra lokal memungkinkan
munculnya sastra marginal.
Hubungan sastra dengan marginal
pernah menjadi buah bibir pada era 1994 yaitu pertama munculnya ”sastra pinggiran”
adalah F. Rahardi (1944) dalam “ Pengantar Editor” beliau menjelaskan sastra yang tidak pernah “beredar”
dalam orbit pusat sastra. Keberadaan sastra pinggiran hampir selalu dicibir dinilai
nora, kampungan,cengeng dan lainlain yang berkonotasi jelek dan rendah. Menurut
Wibowo (1955: viii) kriterianya merupakan persoalan-persoalan bersifat politis.
Banyak pendapata yang menjelaskan bahwa pusat sastra tidka menjamin adanya mutu
karya sastra. Penerbit yang dianggap pusat sastra seperti Balai Pustaka tidak mengakuinya.
Jadi sastra beredar dan terbit di luar orbit sastra pusat disebut sastra pinggiran
atau sastra marginal.
Jadi mampu dipahami bahwa sastra
pinggiran memeliki hubungan sebagai penggambaran kondisi atau kebudayaan orang pinggiran
contohnya orang jawa berupa pengambaran penindasan yang terjadi. Selain itu sastra
marginal sebagai media pengambaran sikap politis elite dengan keberagaman kebudayaan.
Namun ada beberapa hal yang mempengaruhi sastra yaitu berupa kriteria politis (1)
kebijakan dari penerbit atau institusi tertentu yang sengaja meminggirkan karya
sastra , (2) sikap melecehkan karya sastra tertentu oleh para elite atau biasa disebut
sebagai kesenjangan (3) dikotomis pembagian wilayah atau daerah penyebaran karya
sastra, (4) tempat tinggal pengarang yang jauh dari pusat sastra dan (5) kualifikasi
isi dan bahasa yang tidak memenuhi standar buku yang berlaku di masyarakat. Bentuk
ragam karya sastra yang dipinggirkan secara politis itu dapat disebutkan : (1) sastra
peranakan Cina, (2) sastra Medan/ roman picisan, (3) sastra majalah, (4) cerita
silat , (5) sastra pop, (6) puisi mbeling, (7) sastra warna lokal dan (8) sastra
tegal.
4. Karya-karya Sastra
Marginal
Sastra marginal atau sastra mainstrem
merupakan sastra pinggiran yang menurut beberapa ahli belum mendapat dari beberapa
pusat sastra. Sastra pinggirang selalu mengusung konflik yang terjadi dalam masyarakat
baik sosial maupun budaya. Biasanya berupa kisah tradisional masyarakat yang berada
pada daerah pinggiran. Karya-karya sastra marginal adalah sebagian berikut :
Pengakuan Pariyem ( Linus Suryadi A. G, 1980) yang menceritakan
mengenai penindasan hak sebagai seorang perempuan dikalangan keraton jawa.Secara
garis besar kisah pada novel ini hampir sama seperti teori feminisme.
Rara Menduy (YB Mangunwijaya,1983)
Upacara (Koirrie Layun Rampan, 1979)
Wayang beber di pacitan
Sastra Osing Banyuwangi
Suluk dan babad pesisir di pantai utara Pulau jawa.
5.
Kesimpulan
Adapula kesimpulan yang mampu dipahami
dari beberapa penjabaran diatas bahwa satra adalah sebuah karya yang digunakan sebagai
media pencurahan perasaan seseorang. Sedang marginal memiliki arti pinggiran atau
sering disebut sebagai sastra pinggiran. Sastra Marginal terkait dengan keadaan
sosial budaya masyarakat yang berada di pinggiran. Namun juga ada beberapa pendapat
yang menjelaskan sastra marginal berkaitan dengan karya sastra yang belum diakui
oleh pusat sastra. Karya sastra marginal biasanya menggambarkan suatu keadaan masyarakat
yang dihubungkan dengan kesenjangan sosial berupa ras, kelas sosial serta gender.
DAFTAR PUSTAKA
Rosidi, Ajip. 1969.
Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
Bina Cipta
Wahyu, Ibnu. 2004. Menyoal Sastra Marjinal. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra
E-Jornal
(Marginalitas Adat Jawa dalam Novel Pariyem : Poetika 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar