Selasa, 03 Maret 2020

SASTRA DAN MARGINAL

SASTRA DAN MARGINAL

1. Sastra Marginal
Marginal tidak terlepas dari orang sebagai objek permasalahan, baik secara ekonomis maupun sosilogis. Dalam Collins Cobuild English Dictionary, pengertian “marginal” adalah sesuatu yang kecil jumlahnya dan dianggap tidak penting serta tidak dilibatkan dalam perkembangan dan peristiwa utama. Ide dasar yang menjadi fokus utama marginalitas adalah manusia, baik secara individu maupun kolektif. Menurut pemamparan Oscar Lewis (1952) membahas marginal menyatakan bahwa politik marginal sangat berpengaruh pada pemerintahan. Dalam beberapa sumber mengatakan manusia dianggap masuk dalam lingkup marginal apabila sosial mengandung definisi pertentangan di antara kelompok-kelompok.
Marginalitas berkaitan dengan keanggotaan individu dalam berbagai kelompok akibat kurang terintergrasinya dalam masyarakat. Konsep Lewis tampak pada konflik budaya dalam komunitas tertentu, persoalan generasi keturunan, dan friksi budaya minor dan dominan. Adapun representasi marginal perwujudan dari sikap pengarang dalam teks, yang mengakat isu-isu status berakitan dengan ras, kelas, dan gender. Kajian Marginalitas juga berkaitan dengan budaya.
Marginalitas pengarang ialah proses kreatif dalam menembus pasar sastra kanon. Perjuangan yang berangkat dari masalah kebutuhan dan status peran; seseorang dalam kerangka sastra marginal. Bagi pengarang pemula banyak kemungkinan mempertanyakan atas karyanya. Dalam prespektif penulis pemula berada di pinggir kesusatraan. Kriteria yang digunakan dalam pembetukan struktur tekstual, ungkapan, koherensi dalam menata kompleksitas sudut pandang menjadi kesan artistik.
Sastra marginal dalam dampak yang tercipta, dalam sudut pandang ekonomi, menganggap bahwa sastra marginal muncul karena pengarang dituntutan oleh kehendak kebutuhan untuk mengelola. Kompleksitas material dalam individu pengarang dan karya, merupakan konsekuensi dalam proses kreatif. Objek narasi dalam sastra marginal tipe di atas dianggap kemampanan menciptakan komunitas imajinatif. Pengarang dengan kencenderungan memuat realitis fiksi ketersisihan sebagai muatan narasi, fenomena materialis pada pola-pola motivasi kehidupan batin tokoh. Representasi struktur gagasan didominasi latar tempat, waktu, suasana, dan ide pokok cerita yang menitik beratkan pada wujud fisik dan frase-frase glamor dari pada petanda.
Marginal merupakan cara membiasan diri. Dalam sosiologi memandang sastra marginal sebagai eksistensi status harapan setiap individu dalam teks fiksi. Status harapan pengarang, pembaca, dan masyarkat tidak terlepas dari peran, motivasi, wawasan dan perilaku tokoh. Kesenjangan dalam fiksi memicu adanya penciptaan karya tersebut. Ketidakmampuan tokoh dalam menghadapi masyarakat, kebingungan untuk menentukan identitas karena lepas dari budaya generasi terdahulu,perbedaan status sosial, dan permaslahan gender banyak menjadi polol ulasan fiksi modern/kontemporer.
Dapat disimpulkan bahwa sastra marginal adalah sastra pinggiran yang mengedepankan ras, gender, dan kelas sosial. Banyak masalah sosial yang dibahas dalam pengaplikasian sastra ini. Kesenjangan dalam konflik cerita juga sering dikaitkan.

2. Perkembangan Sastra Marginal 
Masa awal pertumbuhan
Sastra marginal adalah bersamaan dengan muncul dan berakhirnya keberadaan sastra peranakan Cina dalam bahasa Melayu-Rendah (1871-1950). Selain itu juga diisi oleh muncul dan berakhirnya keberadaan sastra Medan yang dicap sebagai “ Roman” . Kedua ragam karya sastra yang muncul pada awal pertumbuhan itu disebut “ sastra marjinal” karena posisi dan kedudukannya yang dipinggirkan oleh para elite sastra pada waktu itu. Selain itu, kedua ragam sastra Indonesia dianggap tidak sejalan dengan kebijakan politik Pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membentuk komisi bacaan rakyat yang dikenal dengan Balai Pustaka. Tujuan didirikannya Balai Pustaka adalah untuk menyelenggarakan perpustakaan yang menyediakan buku-buku bacaan yang baik dan sehat, menambah pengetahuan, dan menjauhkan masyarakat dari pengaruh-pengaruh buku-buku berabau politik pemerintahan. Atas dasar itulah, karya sastra yang tidak sesuai dengan kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda dipinggirkan.

Masa Perkembangan
Masa perkembangan sastra marginal adalah bersamaan dengan munculnya isu krisis sastra pada awal tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an. Sastra marginal yang berkembang pada masa itu adalah ragam karya sastra majalah dan cerita silat. Meskipun sampai sekarang bentuk karya sastra majalah dan sastra silat masih terus dan berkembang perhatian para penelitian dan kritikus sastra tetap tertuju pada keberadaan karya sastra standar. Peminggiran ragam karya sastra marginal ini oleh para peneliti menyebabkan kedudukan, peran, dan fungsi sastra majalah dan sastra silat menjadi terabaikan.  Pengarang S. H Mintarja sangat terkenal karya-karyanya seperti Pelangi di Langit Singosari, Nagasara, dan Sabuk Inten, Api di Bukit Menoreh dan Jalan Simpang.

Masa Kemasan
Masa keeamasan sastra marginal dimulai bersamaan dengan munculnya berbagai ragam karya sastra pada tahun 1970-an. Pada tahun-tahun tersebut muncul banyak ragam karya sastra seperti novel populer, puisi mbeling, puisi kontemporermsastra warna lokal dan sastra tegal. Disebut masa keeamasan sastra marjinal karena kurun waktu tersebut paling banyak terbit dan berkembang aneka ragam karya sasta yang memberontak terhadap kemapanan sastra seirus. Munculnya ekspremesntasi sastra oleh para generasi muda dan penulis pemula, yang belum mapan baik yang tinggal di daerah maupun di Jakarta, menyebabkan tumbuj kembang suburnya sastra marginal tersebut. Sumardjo memberikan contoh novel-novel pop adalah Badai Pasti Berlalu (Marge T), Karmila (Marga T). Bukan Impian Semusim (Marga T), Bukan Karena Aku tidak Mencintai (La Rose) dan Wajah-wajah Cinta ( La Rose).

3. Hubungan Sastra dengan Marginal
Dewasa ini sastra erat kaitannya budaya atau dunia sosial. Menurut Sumardi (1985 :370-382)  memberi pengertian “ sastra marginal” adalah sastra perbatasan. Hal ini berhubungan dengan pengertian sastra marginal yang pertama, yaitu sastra yang berhubungan dengan batas suatu wilayah. Batas wilayah sastra Indonesia dengan wilayah sastra daerah. Menentukan posisi marginal kesusastraan, Sumardi mendasarkan pada (1) sarana pengucapannya, yaitu dari segi bahasa yang digunakan dalam karya tersebut, (2) tokoh rekaannya, yaitu tokoh rekaan manusia Indonesia atau manusia daerah, dan (3) permasalahan yang ditengahnya sebagai dunianya, yaitu permasalahan keindonesiaan dan kedaerahan. Beberapa contoh sastra marginal Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi. A.G, 1980) Rara Mendut (YB Mangunwijaya, 1983) dan Upacara (Korrie Layuan Rampan, 1979). Sastra mengambil orientasi daerah atau sastra lokal memungkinkan munculnya sastra marginal.
Hubungan sastra dengan marginal pernah menjadi buah bibir pada era 1994 yaitu pertama munculnya ”sastra pinggiran” adalah F. Rahardi (1944) dalam “ Pengantar Editor”  beliau menjelaskan sastra yang tidak pernah “beredar” dalam orbit pusat sastra. Keberadaan sastra pinggiran hampir selalu dicibir dinilai nora, kampungan,cengeng dan lainlain yang berkonotasi jelek dan rendah. Menurut Wibowo (1955: viii) kriterianya merupakan persoalan-persoalan bersifat politis. Banyak pendapata yang menjelaskan bahwa pusat sastra tidka menjamin adanya mutu karya sastra. Penerbit yang dianggap pusat sastra seperti Balai Pustaka tidak mengakuinya. Jadi sastra beredar dan terbit di luar orbit sastra pusat disebut sastra pinggiran atau sastra marginal.
Jadi mampu dipahami bahwa sastra pinggiran memeliki hubungan sebagai penggambaran kondisi atau kebudayaan orang pinggiran contohnya orang jawa berupa pengambaran penindasan yang terjadi. Selain itu sastra marginal sebagai media pengambaran sikap politis elite dengan keberagaman kebudayaan. Namun ada beberapa hal yang mempengaruhi sastra yaitu berupa kriteria politis (1) kebijakan dari penerbit atau institusi tertentu yang sengaja meminggirkan karya sastra , (2) sikap melecehkan karya sastra tertentu oleh para elite atau biasa disebut sebagai kesenjangan (3) dikotomis pembagian wilayah atau daerah penyebaran karya sastra, (4) tempat tinggal pengarang yang jauh dari pusat sastra dan (5) kualifikasi isi dan bahasa yang tidak memenuhi standar buku yang berlaku di masyarakat. Bentuk ragam karya sastra yang dipinggirkan secara politis itu dapat disebutkan : (1) sastra peranakan Cina, (2) sastra Medan/ roman picisan, (3) sastra majalah, (4) cerita silat , (5) sastra pop, (6) puisi mbeling, (7) sastra warna lokal dan (8) sastra tegal.
4. Karya-karya Sastra Marginal
Sastra marginal atau sastra mainstrem merupakan sastra pinggiran yang menurut beberapa ahli belum mendapat dari beberapa pusat sastra. Sastra pinggirang selalu mengusung konflik yang terjadi dalam masyarakat baik sosial maupun budaya. Biasanya berupa kisah tradisional masyarakat yang berada pada daerah pinggiran. Karya-karya sastra marginal adalah sebagian berikut :
Pengakuan Pariyem ( Linus Suryadi A. G, 1980) yang menceritakan mengenai penindasan hak sebagai seorang perempuan dikalangan keraton jawa.Secara garis besar kisah pada novel ini hampir sama seperti teori feminisme.
Rara Menduy (YB Mangunwijaya,1983)
Upacara (Koirrie Layun Rampan, 1979)
Wayang beber di pacitan
Sastra Osing Banyuwangi
Suluk dan babad pesisir di pantai utara Pulau jawa.

5.  Kesimpulan
Adapula kesimpulan yang mampu dipahami dari beberapa penjabaran diatas bahwa satra adalah sebuah karya yang digunakan sebagai media pencurahan perasaan seseorang. Sedang marginal memiliki arti pinggiran atau sering disebut sebagai sastra pinggiran. Sastra Marginal terkait dengan keadaan sosial budaya masyarakat yang berada di pinggiran. Namun juga ada beberapa pendapat yang menjelaskan sastra marginal berkaitan dengan karya sastra yang belum diakui oleh pusat sastra. Karya sastra marginal biasanya menggambarkan suatu keadaan masyarakat yang dihubungkan dengan kesenjangan sosial berupa ras, kelas sosial serta gender.



DAFTAR PUSTAKA

Rosidi, Ajip. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Wahyu, Ibnu. 2004. Menyoal Sastra Marjinal. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
E-Jornal (Marginalitas Adat Jawa dalam Novel Pariyem : Poetika 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SASTRA DENGAN MASYARAKAT

Hubungan Sastra dan Masyarakat MOHAMAD AZRUL NIZAM (038) ARYANDY BIMBY ARIFATUR(067) LATAR BELAKANG Sastra ialah penggambaran d...