ISU-ISU KAJIAN SASTRA TERKINI
1.
Perkembangan
Karya
Sastra
Terkini
Karya sastra senantiasa tidak lahir dari sebuah ruang vakum. Kehadiran
karya sastra dengan segala dinamikanya tidak mungkin lepas dari kondisi yang
melingkunginya. Surplus kreativitas dalam sastra era 70-an tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan sosial politik Orde Baru. Oleh sebab itu, sastra
Indonesia pasca-manifes Kebudayaan (Manikebu) mengalami pergeseran fase-fase
orde baru.
Sastra
dan Orde Baru I
Para
sastrawan selepas manikebu menulis pada kondisi politik fajar Orde Baru I yang
ditandai oleh maraknya semangat demokrasi sebagai antitesis dari demokrasi
terpimpin Orde Lama. Pers yang selama Orde Lama dibungkam, pada masa itu
sekolah dan universitas mengalami “pembebasan” dari indoktrinasi dan membuka
ruang yang lebar bagi mimbar akademis. Runtuhnya Orde Lama dan terbitnya Orde
baru memungkinkan dunia sastra pasca Manikebu dapat menjalin kembali
perkembangannya dengan tradisi sastra yang terputus.
Perpuisian
Indonesia modern ditegakkan oleh Chairil Anwar lewat sajak-sajak yang menentang
konvensi estetika Melayu. Estetika Chairil Anwar selanjutnya menjadi estetika
dominan dalam perpuisian Indonesia.
Sastra
dan Orde Baru II
Satra
era 80-an ditandai oleh definitifnya pencapaian estetika era 70-an, baik pada
puak estetis yang rigorous seperti
Goenawan Mohammad, Abdul Hadi W.M., dan Sutardji Calzoum Bachri, maupun puak nonrigorous seperti Rendra dan Taufiq
Islami, misalnya. Apa yang dicapai oleh para penyair selepas Manikebu (66-70)
berpengaruh luas pada generasi sesudahnya. Namun, habitat sosial-politik yang
dihidupi generasi 80-an ini diam-diam telah berubah. Peristiwa malari menandai
babak peralihan orde baru , dan Orde Baru I memasuki Orde Baru II. Orde Baru II
ditandai oleh pembredelan sekian banyak media massa, termasuk pers mahasiswa
yang tumpas untuk tidak pernah muncul kembali oleh ke permukaan hingga sekarang
ini.
Era
80-an ditandai oleh mekarnya berbagai kota untuk metropolitan diri dan menjadi
modern sehingga berbagai tinggi, bioskop, supermarket, dan panti pijat
bermunculan bagai kebakaran hutan di musim kemarau. Seringkali kota-kota
tersebut berhasil memetropolitankan diri di bidang gaya hidup, namun masih
sangat tertinggal di bidang budaya. Tidak heran jika kota-kota modern itu hadir
tanpa sarana-sarana budaya.
Dalam
waktu singkat, estetika perpuisian era 70-an mengalami
pencanggihan-pencanggihan. Di tengah situasi rentan para sastrawan khususnya
penyair merindukan sebuah ketentraman sebagaimana terlihat pada sajak-sajak
cinta asmara. Adapun beberapa sajak yang ditulis pada era ini adalah sajak yang
berjudul Pertemuan karya D. Zawawi
Imron, Doa Sederhana karya Ahmadun Y.
Herfanda, Surat karya Soni Farid
Maulana.
Sastra
dan Orde Baru III & Orde Baru IV
Pada era 90-an, lingkungan politik perlahan mulai berubah
dari Orde Baru II memasuki Orde Baru III, yang ditandai oleh kecenderungan
besar besar pada keterbukaan. Di era ini mulai dihembuskan kelahiran
aturan-aturan yang lebih jelas dalam pembredelan pers. Orde Baru III segera memasuki
tahapan Orde Baru IV yang ditandai oleh adanya pembredelan Tempo, Detik, dan Editor. Pembredelan ketiga media massa
tersebut merupakan set back yang
membuat Orde Baru IV pada dasarnya kembali pada gelagat Orde Baru II.,
sementara persoalan dan situasi yang dihadapi tidak lagi sama dengan masa Orde
Baru II.
Berbagai
deregulasidalam berbagai bidang ekonomi sudah tentu menghendaki deregulasi yang
sepadan di bidang politik dan hukum. Deregulasi yang tinggi di bidang ekonomi yang dilangsungkan bersamaan dengan
regulasi berlebihan dalam bidang politik sebagaimana ditunjukkan oleh
pembredelan media massa dan pelarangan sejumlah buku, dan pertunjukkan kesenian
membuat institusi dan mekanisme ekonomi berjalan tanpa koreksi memadai, baik
secara moral maupun politik yang membuat para sastrawan gelisah. Oleh karena
itu, Indonesia harus mempersiapkan diri memasuki keterbukaan pasar bebas Asia
Pasifik pada awal abad ke-21.
Ditengah
situasi ini para sastrawan generasi 90-an muncul. Sebagaimana dari mereka
melanjutkan estetik sebelumnya, namun dengan latar sosial politik yang berbeda.
Perlahan tapi pasti para sastrawan mulai mengangkat persoalan-persoalan sosial
politik, meskipun tidak mudah , mengingat pada umunya sastrawan generasi kini
tidak memiliki pengalaman politik praktis yang memadai akibat NKK/BKK yang
telah memutuskan sama sekali perhubungan dunia kampus dengan kehidupan politik
praktis. Adapun beberapa sajak yang ditulis pada era ini adalah sajak yang
berjudulPanggang karya Acep Syahril, Spiritualitas Sepi karya Ahmad Julden
Erwin.
2.
Isu-isu Terkini dalam Karya Sastra
Karya sastra
diciptakan sepanjang sejarah kehidupan, karena karya sastra diperlukan oleh
manusia. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna
terhadap kehidupan atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Dengan adanya
karya sastra akan menjadikan sarana untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada
banyak orang tentang apa yang baik dan yang buruk. Adapun isu-isu terkini dalam
karya sastra, yaitu:
a.
Fiersa Besari
Akhir-akhir ini banyak yang sedang membicarakan
penulis novel sekaligus pencipta lagu Fiersa Besari di sosial media. Karena,
karya-karya yang telah ia tuangkan pada novelnya mampu membuat candu para
penikmat novel khususnya pada generasi anak muda. Tak hanya itu,
tulisan-tulisan hasil karyanya mampu menjadi sajak yang indah atau biasa
disebut dengan quote. Tak sedikit
dari kalangan anak muda yang menggunakan sajak-sajak Fiersa Besari untuk caption pada postingan instagramnya
mulai dari yang bertema cinta, harapan bahkan sampai motivasi diri. Beberapa
contoh sajak karya Fiersa Besari antara lain:
“Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus”.
“Bukankah hidup ini sebetulnya mudah? Jika rindu, datangi. Jika tidak senang, ungkapkan. Jika cemburu, tekankan. Jika lapar, makan. Jika mulas, buang air. Jika salah, betulkan. Jika suka, nyatakan. Jika sayang, tunjukkan. Manusianya yang sering kali mempersulit segala sesuatu. Ego mencegah seseorang mengucap "Aku membutuhkanmu".
“Jika saatnya tiba, sedih akan menjadi tawa, perih akan menjadi cerita, kenangan akan menjadi guru, rindu akan menjadi temu, kau dan aku akan menjadi kita”.
b.
Gus Mus
Pada
ruang lingkup religi, Pendakwah Gus Mus juga sedang naik daun akhir-akhir ini
atas kata-kata mutiara yang ia ucapkan disela-sela dakwahnya. Kata mutiara yang
ia ucapkan menjadi sajak yang sangat indah untuk dijadikan motivasi diri.
Contoh karya-karya sajak dari Gus Mus antara lain:
"Juara sejati ialah orang yang mampu mengalahkan diri sendiri."
“Anda kalau terlalu benci, anda tidak bisa adil. Anda kalau terlalu cinta, tidak bisa adil. Dengan sikap tengah-tengah, kita bisa lebih mudah bersikap adil.”
"Terus menggunjing orang yang berdosa, bisa mencelakakan diri kita sendiri. Apalagi --siapa tahu-- orang yang kita gunjingkan tersebut sudah menyesali dosanya dan bertobat."
3. kesimpulan
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta, castra yang berarti tulisan. Sastra merupakan bentuk seni kreatif yang objeknya berupa
manusia dan diramu dengan indah sehingga menimbulkan kesan yang menarik. Bentuk
dari sastra adalah karya sastra. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati,
dipahami, dan dimanfaatkan dalam kehidupan. Sastra selalu memiliki dinamika
perkembangan di setiap masanya. Meskipun di era sekarang dikatakan sastra
mengalami penurunan dari segi tema yang diangkat menjadi sebuah karya sastra.
Di era sekarang karya sastra cenderung berisi tentang cerita-cerita romance
atau sering disebut picisan. Namun sebenarnya bukan penurunan, melainkan
perubahan selera pasar yang membuat isi-isi karya sastra hampir semua memiliki
kesamaan tema yaitu tentang cinta dan romantisme.
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, M., Husen, I., Budiman, M., & Wahyudi, I. (2003). Membaca
Sastra. Magelang: IndonesiaTera.
Nursisto. (2000). Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Rosidi, A. (1985). Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir? Jakarta:
PT Gunung Agung.
Sarjono, A. (2001). Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Susanto , D. (2016). Pengantar Kajian Sastra.
Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar