Senin, 02 Maret 2020

ISU-ISU KAJIAN SASTRA TERKINI



ISU-ISU KAJIAN SASTRA TERKINI

1. Perkembangan Karya Sastra Terkini
            Karya sastra senantiasa tidak lahir dari sebuah ruang vakum. Kehadiran karya sastra dengan segala dinamikanya tidak mungkin lepas dari kondisi yang melingkunginya. Surplus kreativitas dalam sastra era 70-an tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial politik Orde Baru. Oleh sebab itu, sastra Indonesia pasca-manifes Kebudayaan (Manikebu) mengalami pergeseran fase-fase orde baru.

Sastra dan Orde Baru I
Para sastrawan selepas manikebu menulis pada kondisi politik fajar Orde Baru I yang ditandai oleh maraknya semangat demokrasi sebagai antitesis dari demokrasi terpimpin Orde Lama. Pers yang selama Orde Lama dibungkam, pada masa itu sekolah dan universitas mengalami “pembebasan” dari indoktrinasi dan membuka ruang yang lebar bagi mimbar akademis. Runtuhnya Orde Lama dan terbitnya Orde baru memungkinkan dunia sastra pasca Manikebu dapat menjalin kembali perkembangannya dengan tradisi sastra yang terputus.
Perpuisian Indonesia modern ditegakkan oleh Chairil Anwar lewat sajak-sajak yang menentang konvensi estetika Melayu. Estetika Chairil Anwar selanjutnya menjadi estetika dominan dalam perpuisian Indonesia.

Sastra dan Orde Baru II
Satra era 80-an ditandai oleh definitifnya pencapaian estetika era 70-an, baik pada puak estetis yang rigorous seperti Goenawan Mohammad, Abdul Hadi W.M., dan Sutardji Calzoum Bachri, maupun puak nonrigorous seperti Rendra dan Taufiq Islami, misalnya. Apa yang dicapai oleh para penyair selepas Manikebu (66-70) berpengaruh luas pada generasi sesudahnya. Namun, habitat sosial-politik yang dihidupi generasi 80-an ini diam-diam telah berubah. Peristiwa malari menandai babak peralihan orde baru , dan Orde Baru I memasuki Orde Baru II. Orde Baru II ditandai oleh pembredelan sekian banyak media massa, termasuk pers mahasiswa yang tumpas untuk tidak pernah muncul kembali oleh ke permukaan hingga sekarang ini.
Era 80-an ditandai oleh mekarnya berbagai kota untuk metropolitan diri dan menjadi modern sehingga berbagai tinggi, bioskop, supermarket, dan panti pijat bermunculan bagai kebakaran hutan di musim kemarau. Seringkali kota-kota tersebut berhasil memetropolitankan diri di bidang gaya hidup, namun masih sangat tertinggal di bidang budaya. Tidak heran jika kota-kota modern itu hadir tanpa sarana-sarana budaya.
Dalam waktu singkat, estetika perpuisian era 70-an mengalami pencanggihan-pencanggihan. Di tengah situasi rentan para sastrawan khususnya penyair merindukan sebuah ketentraman sebagaimana terlihat pada sajak-sajak cinta asmara. Adapun beberapa sajak yang ditulis pada era ini adalah sajak yang berjudul Pertemuan karya D. Zawawi Imron, Doa Sederhana karya Ahmadun Y. Herfanda, Surat karya Soni Farid Maulana.

Sastra dan Orde Baru III & Orde Baru IV
            Pada era 90-an, lingkungan politik perlahan mulai berubah dari Orde Baru II memasuki Orde Baru III, yang ditandai oleh kecenderungan besar besar pada keterbukaan. Di era ini mulai dihembuskan kelahiran aturan-aturan yang lebih jelas dalam pembredelan pers. Orde Baru III segera memasuki tahapan Orde Baru IV yang ditandai oleh adanya pembredelan Tempo, Detik, dan Editor. Pembredelan ketiga media massa tersebut merupakan set back yang membuat Orde Baru IV pada dasarnya kembali pada gelagat Orde Baru II., sementara persoalan dan situasi yang dihadapi tidak lagi sama dengan masa Orde Baru II.
Berbagai deregulasidalam berbagai bidang ekonomi sudah tentu menghendaki deregulasi yang sepadan di bidang politik dan hukum. Deregulasi yang tinggi di  bidang ekonomi yang dilangsungkan bersamaan dengan regulasi berlebihan dalam bidang politik sebagaimana ditunjukkan oleh pembredelan media massa dan pelarangan sejumlah buku, dan pertunjukkan kesenian membuat institusi dan mekanisme ekonomi berjalan tanpa koreksi memadai, baik secara moral maupun politik yang membuat para sastrawan gelisah. Oleh karena itu, Indonesia harus mempersiapkan diri memasuki keterbukaan pasar bebas Asia Pasifik pada awal abad ke-21.
Ditengah situasi ini para sastrawan generasi 90-an muncul. Sebagaimana dari mereka melanjutkan estetik sebelumnya, namun dengan latar sosial politik yang berbeda. Perlahan tapi pasti para sastrawan mulai mengangkat persoalan-persoalan sosial politik, meskipun tidak mudah , mengingat pada umunya sastrawan generasi kini tidak memiliki pengalaman politik praktis yang memadai akibat NKK/BKK yang telah memutuskan sama sekali perhubungan dunia kampus dengan kehidupan politik praktis. Adapun beberapa sajak yang ditulis pada era ini adalah sajak yang berjudulPanggang karya Acep Syahril, Spiritualitas Sepi karya Ahmad Julden Erwin.

2.  Isu-isu Terkini dalam Karya Sastra
Karya sastra diciptakan sepanjang sejarah kehidupan, karena karya sastra diperlukan oleh manusia. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Dengan adanya karya sastra akan menjadikan sarana untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada banyak orang tentang apa yang baik dan yang buruk. Adapun isu-isu terkini dalam karya sastra, yaitu:
a.      Fiersa Besari
Akhir-akhir ini banyak yang sedang membicarakan penulis novel sekaligus pencipta lagu Fiersa Besari di sosial media. Karena, karya-karya yang telah ia tuangkan pada novelnya mampu membuat candu para penikmat novel khususnya pada generasi anak muda. Tak hanya itu, tulisan-tulisan hasil karyanya mampu menjadi sajak yang indah atau biasa disebut dengan quote. Tak sedikit dari kalangan anak muda yang menggunakan sajak-sajak Fiersa Besari untuk caption pada postingan instagramnya mulai dari yang bertema cinta, harapan bahkan sampai motivasi diri. Beberapa contoh sajak karya Fiersa Besari antara lain:


“Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus”.

“Bukankah hidup ini sebetulnya mudah? Jika rindu, datangi. Jika tidak senang, ungkapkan. Jika cemburu, tekankan. Jika lapar, makan. Jika mulas, buang air. Jika salah, betulkan. Jika suka, nyatakan. Jika sayang, tunjukkan. Manusianya yang sering kali mempersulit segala sesuatu. Ego mencegah seseorang mengucap "Aku membutuhkanmu".


“Jika saatnya tiba, sedih akan menjadi tawa, perih akan menjadi cerita, kenangan akan menjadi guru, rindu akan menjadi temu, kau dan aku akan menjadi kita”.
b.      Gus Mus
Pada ruang lingkup religi, Pendakwah Gus Mus juga sedang naik daun akhir-akhir ini atas kata-kata mutiara yang ia ucapkan disela-sela dakwahnya. Kata mutiara yang ia ucapkan menjadi sajak yang sangat indah untuk dijadikan motivasi diri. Contoh karya-karya sajak dari Gus Mus antara lain:



"Juara sejati ialah orang yang mampu mengalahkan diri sendiri."
“Anda kalau terlalu benci, anda tidak bisa adil. Anda kalau terlalu cinta, tidak bisa adil. Dengan sikap tengah-tengah, kita bisa lebih mudah bersikap adil.”
"Terus menggunjing orang yang berdosa, bisa mencelakakan diri kita sendiri. Apalagi --siapa tahu-- orang yang kita gunjingkan tersebut sudah menyesali dosanya dan bertobat."


3. kesimpulan
            Sastra berasal dari bahasa Sansekerta, castra yang berarti tulisan. Sastra merupakan bentuk seni kreatif yang objeknya berupa manusia dan diramu dengan indah sehingga menimbulkan kesan yang menarik. Bentuk dari sastra adalah karya sastra. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan dalam kehidupan. Sastra selalu memiliki dinamika perkembangan di setiap masanya. Meskipun di era sekarang dikatakan sastra mengalami penurunan dari segi tema yang diangkat menjadi sebuah karya sastra. Di era sekarang karya sastra cenderung berisi tentang cerita-cerita romance atau sering disebut picisan. Namun sebenarnya bukan penurunan, melainkan perubahan selera pasar yang membuat isi-isi karya sastra hampir semua memiliki kesamaan tema yaitu tentang cinta dan romantisme.


DAFTAR PUSTAKA

Budianta, M., Husen, I., Budiman, M., & Wahyudi, I. (2003). Membaca Sastra. Magelang: IndonesiaTera.
Nursisto. (2000). Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Rosidi, A. (1985). Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir? Jakarta: PT Gunung Agung.
Sarjono, A. (2001). Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Susanto , D. (2016). Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SASTRA DENGAN MASYARAKAT

Hubungan Sastra dan Masyarakat MOHAMAD AZRUL NIZAM (038) ARYANDY BIMBY ARIFATUR(067) LATAR BELAKANG Sastra ialah penggambaran d...