MAKALAH KETERAMPILAN SASTRA RESEPTIF
SASTRA DAN POLITIK
NAMA KELOMPOK :
Mohamad Azrul Nizam (201810080311038)
Aryandy Bimby Arifatur (201810080311067)
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Perkembangan Kurikulum dari Masa ke Masa”.Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan beberapa tugas mata kuliah Telaah Kurikulum. Pada makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan kurikulum dari masa ke masa
Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.
Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami ini, untuk kemudian kami akan merevisi kembali pembuatan makalah ini di waktu berikutnya.
Malang, 22 Februari 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sastra adalah karya imajinatif yang terinspirasi kehidupan nyata manusia. Banyak pengarang berhasil menjadikan kehidupan nyata manusia sebagai inspirasi dari karya yang bernilai serta bermakna. Karya sastra yang dihasilkan memiliki ciri khusus pada setiap zaman penciptaannya maupun penulis sastra sendiri. Karya sastra selain sebagai hiburan yang menyenangkan karena imajinatif, juga mengandung nilai-nilai budaya yang berguna menambah wawasan manusia.
Karya sastra juga memiliki keterkaitan pada bidang lain sebagai inspirasi. Seperti halnya pada zaman Kolonial Belanda, karya sastra memiliki kedudukan tinggi sebagai “alat” penyebar semangat kemerdekaan. Karya sastra hadir sebagai bacaan yang sangat berpengaruh pada masa itu. Tidak berhenti pada zaman kolonial, sastra yang mengekspresikan mengenai politik juga masih digunakan sampai sekarang.
Politik termasuk bagian dari sebuah fenomena yang berkaitan dengan manusia yang merupakan makhluk sosial. Politik berasal dari kata politic (Inggris), Deliar Noer (1983:6) (dalam B. Nambo dan Rusdiyanto, 2005: 265) menyatakan bahwa “Politik adalah seluruh kegiatan atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud mempengaruhi dengan cara mengubah atau mempertahankan suatu susunana masyarakat”.
Sastra pada zaman kolonial muncul sebagai sastra penguat rasa merdeka masyarakat Indonesia. Karya sastra hanya dapat dibaca oleh golongan menengah ke atas. hal tersebut dipelopri oleh kaum intelektual dan bangsawan. Karya sastra yang dibaca pun banyak mengandung unsur dari Negara Barat. Awal mulanya adalah adanya pembebabsan kebudayaan barat atas sastra Indonesia pada wal abad XX (sekitar tahun 1900) (Budi Wurianto, 1997).
Pada dasawarsa duapuluhan, muncul perubahan dalam sastra yaitu pada kalangan menengan ke bawah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu “pasar”. Karya yang muncul pun bernada keras sebagai bentuk protes. Pemerintah Belanda mulai khawatir karena tema-tema yang diangkat mulai bermacam-macam, seperti politik, pendidikan, maupun religius. Akhirnya dibentuk Balai Pustaka sebagai penyaring bacaan masyarakat kala itu. Jika masyarakat dibiarkan membaca bacaan dengan teman seperti yang disebutkan, maka masyarakat dapat dengan mudah memegang kemerdekaan atas negaranya sendiri.
B. Rumusan masalah
1. Apa hubungan sastra dan politik?
2. Bagaimana cara kerja sastra dan politik?
3. Bagaimana contoh sastra dan politik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan sastra dan politik
2. Untuk mengetahui cara kerja sastra dan politik
3. Untuk mengetahui contoh dari sastra dan politik
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hubungan Sastra dengan Politik
Hubungan sastra dan politik tidak dapat dipisahkan dalam struktur sosial. Bila kita lihat sejarah, sastrawan pada zaman penjajahan memanfaatkan karya sastranya untuk mengekspresikan segala sesuatu termasuk tentang politik. Pada masa Kolonial Belanda, didirikannya Balai Pustaka guna melawan sastrawan yang mengkritisi pemerintahan Zaman Belanda. Pada saat itu, karya sastra memiliki pengaruh besar untuk membangkitkan semangat rakyat yang terjajah untuk merdeka. Hal itu ditakutkan karena bacaan rakyat Indonesia masih terbatas dan mengakibatkan ketakutan bagi Kolonial Belanda.
Kolononial Belanda akhir membentuk Balai Pustaka sebagai badan sensorkarya-karya sastrawan Indonesia. Hal tersebut terjadi pada salah satu novel berjudul Salah Asuh karya Abdul Muis yang mengalami sensor sebelum diterbitkan sehingga mengalami perubahan pada makna dan pesan yang terkandung dalam novel. Pemaparan tersebut menunjukan bahwa betapa sastra dan politik memiliki kaitan seperti dua sisi koin. Sastra juga berperan sebagai bentuk ungkapan kritik dari masyarakat mengenai politik.
Pada tahun 17 Agustus 1950 berdirilah sebuah organisasi kebudayaan yang dicurigai sebagai bagian dari PKI dengan nama Lekra. Terbentuknya Lekra adalah mengembalikan karakter bangsa nasional dengan anti terhadap penjajahan dan neoklonialisme . Para anggota Lekra berpendapat bahwa budaya dapat dibangun dengan baik maka mereka berjuang anti penjajahan dan anti kekuasaan kaum bangsawan. Dengan lansan yang seperti itu memicu kecurigaan terhadap Lekra sebagai bagian dari PKI (Ismail, 1972dalam Supartono, 2000).
Yahaya Ismail (dalam Supartono, 2000) mengatakan bahwa hubungan Lekra adalah politik dan seni dengan sebutan ‘organisasi politik kulturil”. Berawal dengan penandatanganan Surat Kepercayaan Gelanggang pada 18 Agustus 1950 yang menyatakan revolusi belum selesai, Lekra bergerak pada bidang seni. Lekra menolak pemisahan seni dan masyarakat, bagi Lekra seni harus berpihak dan menerapkan metode realisme sosialisdengan politik sebagai panglima. Lekra sangat menolak pengaruh budaya barat.
Muncul pula Manifes Kebudayaan ataubiasa disebut sebagai Manikebu oleh pihak Lekra. Manifes Kebudayaan ini muncul dengan humanisme universal. Landasan teori Manifes Kebudayaan dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963. Mereka menggunakan pancasila sebagai filsafat kebudayaan.
2. Cara Kerja Sastra dalam Politik
Pada zaman kolonial sastra digunakan oleh sastrawan untuk mengungkapkan harapan mengenai negara yang merdeka. Sastra pada masa itu berperan dalam membangkitkan semangat untuk merdeka pada para rakyat Indonesia yang terjajah. Namun belanda tidak membiarkan sastrawan pada masa itu berekspresi secara bebas. Belanda mengawasi pergerakan para sastrawan dalam menciptakan karya satra dengan mendirikan badan sensor yang memfilter karya satra para sastrawan pada masa itu.
Pada saat ini pergerakan sastra cenderung bebas dan tidak dibatasi oleh pemerintah. Bahkan banyak karya sastra yang terus mengalami perubahan sehingga ada karya sastra yang menuai kontroversi. Apalagi sastra yang bersakutan dengan politik dan agama. Sekarang untuk mengekspresikan segala sesuatu melalui karya satra tidak perlu menjadi satrawan terlebih dahulu, masyarakat biasa pun bisa lewat media sosial, media online, media cetak dan masih banyak lagi cara masyarakat untuk menuakan apapun lewat sastra.
3. Contoh Karya Sastra
Karya sastra lama yang ditulis dengan sangkut pautnya dengan politik adalah karya sastra berjudul Serat Kalathida oleh pujangga Kraton Surakarta R.Ng. Ranggawarsita (Budi Wurianto, 1997). Karya sastra tersebut muncul atas keberanian R.Ng. Ranggawarsita keadaan negara pada masa kolonial Belanda. Pada mas aitu tanah-tanah milik Kraton Surakarta megalami pengolahan lahan secara berlebih oleh kolonial Belanda, sehingga kraton tidak mendapat pemasukan.
Muncul karya sastra sebagai cerita bersambung dengan judul Nyai Dasima pada tahun 1896yang ditulis oleh G. Francis. Karya sastra tersebut berisi kisah mengenai Dasima seorang perempuan pribumi yang dipelihara oleh majikannya bernama Edward W., seorang warga Inggris. Dia dipelihara hingga memiliki saru anak bernama Nancy. Hingga akhirnya Dasima menikah dengan Samioen warga pribumi, namun mengalami kesialan dengan menjadi budak istri pertama dan ibu istri pertama.
Rasa tidak terima muncul dalam benak Dasima, hingga dia berniat melaporkan kejahatan yang dia alami pada polisi. Mengetahui niatan tersebut, Samioen berencana membunuh Dasima. Dasima pun terbunuh oleh orang suruhan Samioen dan mayatnya dibuang ke kali hingga hanyut di belakang rumah Edward W. Edward W sedih dan melaporkan kejadian itu pada polisi. Karya Nyai Dasima ini terbit sebelum Balai Pustaka terbentuk (ensiklopedi.kemendikbud.go.id, diakses tanggal 1 April 2019 pukul 16:36). Dengan begitu dapat dilihat bahwa karya satra ini memiliki tendensi atau kecenderungan terhadap masyarakat Eropa dan mengesampingkan masyarakat pribumi.
Selain itu, penulis kebangsaan Belanda, Douwes Dekker atau Multatulis sebagai nama penanya menuliskan buku-buku dengan cerita mengenai ketidakadilan Kolonial Belanda pada Bangsa Indonesia. Prosa tersebut terkumpul dalam satu buku berjudul Max Havelaar terbit pada tahun 1860.
Pada makalah ini penulis menggunakan puisi ciptaan Neno Warisman. Penulis memilih puisi Munajat 212 dikarenakan unsur politik di dalamnya begitu kentara. Hal tersebut juga didukung dengan pembacaan oleh Neno Warisman pada kampanye capres dan cawapres.Berikut penjelasan dari puisi Munajat 212.
Puisi Munajat 212
Namun kami mohon jangan serahkan kami pada mereka
Yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak cucu kami
Dan jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami
Karena jika Engkau tidak menangkan
Kami khawatir ya Allah
Kami khawatir ya Allah
Tak ada lagi yang menyembah-Mu
Penjelasan:
Puisi di atas dibacakan oleh penulis puisi sendiri, Neno Warisman yang menduduki posisi sebagai Wakil Ketua Badan Pemenang Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Acara tersebut digelar di Monas pada tanggal 21 Februari 2019.
Kandungan puisi tersebut menjelaskan mengenai kepemimpinan presiden dan wakil presiden sebelumnya cenderung buruk. Karena puisi dibacakan oleh kubu salah satu paslon capres cawapres, sehingga menimbulkan prespektif kampanye dan mendoktrin rakyat untuk memilih paslon tersebut.
Salah satu baris puisi menimbulkan kontroversi dikarenakan menyangkut pautkan dengan Tuhan. Baris tersebut mengandung kerasisan, sehingga menimbulkan makna bahwa larik tersebut mengandung ancaman untuk Tuhan jika tidak menghendaki paslon menang.
BAB III
PENUTUP
KesimpulanSastra memiliki banyak sekali cabang atau hubungan termasuk juga memiliki hubungan dengan Politik. Sebab, sastra itu fleksibel dan juga refleksi dari masyarakat. Biasanya sastra dikaitkan dengan politik bertujuan untuk mengkritik pemerintah dan juga untuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang dinilai otoriter atau pemerintah dianggap gagal oleh masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, A. (2016). Analisis Nilai Karakteristik Tokoh Utama pada Novel Haid Pertama Karya Enny M. Konfiks, Vol 3, 39-51.Budi Wurianto, A. (1997). Sastra dan Politik. Malang: Bestari.
Faruk. (1995). Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra. Politik, Dekon[s]truksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemendikbud. (n.d.). Nyai Dasima (1896). DIakses1 April 2019,pukul 16:36dari Ensiklopedia Sastra Indonesia: ensiklopedi.kemendikbu.go.id.
Nambo, Abdulkadir, & Rusdiyanto Puluhula, M. (2005). Memahami tentang Beberapa Konsep Politik (Ustau Telaah dari Sistem Politik). Media Neliti. Vol 21, No. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar